Generation Z's Perception of Marriage Age Restrictions and Arranged Marriage Phenomenon

Abstract

Abstract: Early marriage and matchmaking for children without involving children are still common, regardless of the established law. This study aims to examine how generation Z perceive these two phenomena: the limitation of marriage age and child matchmaking. This research is survey research using random sampling. The participants are those between 18-22 years who live in Palu and its surroundings. The study found that more than 75% of respondents supported the establishment of a marriage age limit. Interrelated with more than 80% of participants tend to reject matchmaking without involving children. This study conclude (1) Generation Z believes that the regulation of marriage restrictions can prevent early marriage, overcome mental and psychological health problems, and reduce the rate of divorce and domestic violence. (2) Generation Z tends to reject the matchmaking system without involving children because marriage is an individual human right, tends to reduce household harmony, and matchmaking is an out-of-date method. The results of this study provide a new perspective on the attitude of the younger generation in responding to rules and social dynamics, especially related to gender issues. This research can also be used as a basis for a broader study on gender and youth issues.

Abstrak: Pernikahan dini dan juga perjodohan terhadap anak tanpa melibatkan anak masih jamak terjadi, terlepas dari perangkat hukum yang sudah diatur pemerintah. Terkait hal tersebut, penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana masyarakat muda melihat dua fenomena tersebut: pembatasan usia pernikahan dan perjodohan anak. Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan menggunakan random sampling. Menggunakan instrumen wawancara. Sampel penelitian merupakan kelompok masyarakat pada rentang usia 18-22 tahun yang berada di wilayah kota Palu dan sekitarnya. Hasil penelitian menemukan bahwa lebih dari 75% generasi Z mendukung adanya penetapan batas usia pernikahan. Hal ini juga berkesesuian dimana, lebih dari 80% generasi Z juga cenderung menolak perjodohan tanpa melibatkan anak. Kesimpulan penelitian ini  (1) generasi Z percaya bahwa aturan pembatasan pernikahan dapat mencegah pernikahan dini, mengatasi masalah kesehatan mental dan psikologis, dan mengurangi tingkat perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga. (2) Generasi Z cenderung menolak sistem perjodohan tanpa melibatkan anak dikarenakan pernikahan adalah hak asasi individu, cenderung mengurangi keharmonisan rumah tangga, dan perjodohan merupakan metode tidak pada zamannya. Hasil penelitian ini memberikan perspektif baru mengenai sikap generasi muda dalam menyikapi aturan dan dinamika sosial, terutama terkait isu gender. Penelitian ini juga dapat menjadi pijakan kajian yang lebih luas dalam isu gender dan generasi muda.