STUDI KOMPARATIF TEORI ILMU HADIS AL-HAKIM AL-NAISABURIY DAN IBNU SHALAH
Abstract
Para ulama dalam menilai status suatu hadis memiliki perbedaan pemahaman dan cara pengambilan keseimpulan, perbedaan-perbedaan tersebut akan coba dilihat dalam tatanan teori yaitu ilmu hadis. Pemilihan tokoh al-Hâkim al-Naysâbûriy dan Ibnu al-Shalâh sangat beralasan karena keduanya mengarang kitab yang membahas ilmu hadis yang masyhur pada masanya. Kemunculan kitab-kitab ini terjadi pada masa-masa awal pembukuan ilmu hadis, maka diharapkan teori-teori yang dimunculkan bersifat orisinil. Al-Hâkim al-Naysâburiy membahas dalam kitab Ma’rifat‘Ulûm al-Hadîts, teori-teori ilmu hadîts yang berjumlah 52 cabang, sedangkan teori Ibnu al-Shalâh tentang ilmu hadis dalam kitab Muqaddimah Ibn al-Shalâh berjumlah 65 cabang. Dari jumlah tersebut terdapat lebih kurang 29 teori yang sama-sama dibahas oleh al-Hâkim dan Ibnu al-Shalâh. Khusus kepada al-Hâkim, Ibnu al-Shalâh banyak membahas teori al-Hâkim, ada yang hanya disebutkan sebagai pembanding, namun ada yang dikritisi. Proses pembandingan dan pengkritisan ini membentuk suatu jalur kronologi sejarah perkembangan ilmu hadis.
Keywords
Full Text:
PDFReferences
Nûr al-Dîn ‘Itr, Manhaj Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 37-64
Syams al-Dîn Abi al-Khair Muhammad bin Abdurrahman al-Syakhâwiy, Fath al-Mughîts bi al-Syarhi Alfiyah al-Hadîts, (tt: Maktabah Dâr al-Minhaj, 1426 H), h. 10
Abi Amru Usman bin Abdurrahman al-Syahrazûriy (selanjutnya disebut Ibnu al-Shalâh), Muqaddimah Ibn al-Shalâh, (t.tp: Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, 1931), h. 428-431
Kitab ini merupakan ikhtisar atau ringkasan dari kitab Muqaddimah Ibnu al-Shalâh. Setelah masa itu mulai bermunculan kitab-kitab ikhtisar, nazham, syarh, dan lain-lain yang membahas kitab Muqaddimah Ibnu al-Shalâh
Pendapat lain menyatakan al-Hâkim dilahirkan tanggal 3 Rabi’ al-Awwal tahun 321 H. Lihat. Al-Hâkim al-Naysâbûriy, Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-‘Ulûm, 1997), h. 7
Sa’ad bin ‘Abdullah ‘Ali Hamid, Manâhij al-Muhadditsîn, (Riyadh:Dâr al-‘Ulûm al-Sunnah, 1999), h. 176, lihat juga. M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta:Teras, 2003), h.240
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003), h. 243
Ibnu Hajar al-Asqalâniy, al-Nukat ‘ala Kitâb Ibnu al-Shalâh, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), h. 12. Penambahan al-Syâfi’iy pada ujung namanya untuk menunjukkan bahwa Ibn al-Shalâh adalah termasuk salah satu ulama penganut Mazhab Syâfi’iy. Salah satu indikasinya bisa dilihat dari berbagai teori ilmu hadis Ibnu al-Shalâh yang sejalan dengan pendapat Imam al-Syâfi’iy, serta dari berbagai karyanya yang berkaitan dengan mazhab Syâfi’iy.
. Ibid., h. 13
Al-Hâkim al-Naysâbûriy, Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-‘Ulûm, 1997), h. 111b
Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibn al-Shalâh, (ttp: Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, 1931), h. 8
Maksud dikenal disini adalah identitas yang jelas.
Al-Hâkim memandang hadis syâdz adalah hadis yang tidak memiliki sanad lain (menyendiri), maka al-Hâkim mensyaratkan adanya minimal 2 perawi pada setiap tingkatan kecuali pada tingkat sahabat.
. Teori hadis shahih al-Hâkim ini menurut penulis dapat digunakan sebagai salah satu materi bantahan teori yang dicetuskan seorang orientalis yang bernama Joseph Schacht dan dikembangkan oleh Gauther H.A Juynboll. Common link merupakan istilah untuk sesorang periwayat hadis yang mendengar suatu hadts dari seseorang yang berwenang (orang yang menyampaikian hadis pertamakali) lalu ia menyampaikan kepada sejumlah murid dan pada gilirannya murid-muridnya itu akan menyampaikan lagi kepada dua atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalaah sebutan untuk periwayatan tertua dalam berkas isnad yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Implementasi dari teori hadis shahih al-Hâkim adalah didapatkannya common link pada diri sahabat Nabi bukan pada tingkatan tâbi’in atau tingkatan di bawahnya seperti asumsi Dari para orientalis. Lihat: Ali Masrur,Teori Common Link, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007), h. 64 dan 113
Al-Hâkim al-Naysâbûriy, Al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), jil. 1, h. 43
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhâriy al-Ja’fiy, Shahih al-Bukhariy, (ttp: Dâr Thawaq al-Najâh, 1422 H), j. 1, h. 18
Al-Hâkim al-Naysâbûriy, Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadits, (Beirut: Dâr Ihya’ al-’Ulûm, 1997), h. 183
Al-Syuyuthiy, Tadrib al-Rawiy fi Syarh Taqrib al-Nawawiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 233
Muhammad Ajjâj al-Khatîb, Ushul al-Hadits ‘Ulumuh wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)., h. 347
Ibnu al-Shalâh, op.cit, h. 56
Abu Dawud Sulaiman bin Dawud bin al-Jarud al-Thayalisiy al-Bishriy, Musnad abi Dawud al-Thayalisiy, (Mesir: Dâr Hijr, 1999), j.1, h. 505. Hadis ini juga diriwayatkan dalam kitab Musnad al-Syâfi’iy, Musnad Ahmad, Sunan al-Dârimiy, Sunan al-Tirmidziy, dan Sunan Ibnu Mâjah. Lihat: Al-Hâkim, op.cit, h. 69
Ibnu al-Shalâh memahami alasan al-Syafi’i dalam menerima kehujjahan hadis mursal Ibn Musayyab. Menurut ibnu al-Shalâh, Imam al-Syafi’i hanya menerima hadis mursal yang diriwayatkan oleh tingkatan Tâbi’în Besar (dalam hal ini Sa’id ibn Musayyab adalah Tâbi’în Besar) yang terindikasi bertemu dan bergaul dengan para sahabat, dan hadis mursal yang diriwayatkan oleh Tâbi’în Kecil tidak diterima oleh al-Syafi’i karena para Tâbi’în Kecil hanya bertemu 1 atau 2 Sahabat saja. Kebanyakan riwayat oleh Tâbi’în Kecil berasal dari Tâbi’în yang lain. Ibid., h. 56-57
Al-Syuyuthiy, op.cit, h. 195-196
Sulayman ibn Asy’as Abu Dawud al-Sijiztani al-Azdi, Sunan Abĩ Dawud, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1424 H), j. 1, h. 246. Lihat juga: Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahĩh al-Bukhari, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Daulah li Nasr, 1998), j. 1, h. 270. dan Muslim ibn al-HAjjâj, Shahĩh Muslĩm, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Daulah li Nasr, 1998), j. 1, h. 307.
Mengutip pendapat ibnu al-Shalâh bahwasanya kitab Shahîh al-Bukhâriy adalah kitab hadis yang paling shahîh kemudian diikuti oleh kitab Shahîh Muslim. Menurut al-Hâkim kitab hadis yang paling shahîh adalah kitab Shahîh Muslim. Lihat: Ibnu al-Shalâh, op.cit, h. 13-14. Dapat disimpulkan, pendapat al-Hâkim dan Ibnu al-Shalâh tentang hadis mursal di atas adalah hadis tersebut berstatus shahîh.
Mahmud Yunus.Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzuriyah), h. 49.
Yang dimaksud ulama mutaakhirîn disini adalah para ulama yang menyusun kitab ‘ulûm al-hadîts setelah fase ke-7 Dari masa perkembangan ‘ulûm al-hadîts (fase kebangkitan kedua yang dimulai pada abad ke -14 H). lihat bab: 3 halaman:78-80. Dalam penelitian ini penulis mengelaborasi pendapat Muhammad Ajjâj al-Khatîb, dan Shubhiy al-Shâlih sebagai ulama yang masuk golongan mutaakhirîn.
Muhammad Ajjâj al-Khatîb, op.cit., h. 305. Lihat juga: Shubhiy al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Musthalahuh, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malayin, 1959), h. 145,
Ibid., h. 305
Muhammad Ajjâj al-Khatîb, loc.cit.
Konsep syâdz al-Hâkim juga digunakan untuk menjelaskan konsep syâdz al-Syafi’i, ini berkaitan dengan riwayat orang banyak (ruwiya al-nas). Oarng banyak disini menurut al-Hâkim adalah para perawi tsiqah. Lihat: Shubhiy al-Shâlih, op.cit., h. 197
Muhammad Ajjâj al-Khatîb, op.cit., h. 337. Lihat juga: Shubhiy al-Shâlih, op.cit., h. 166.
Para ulama bersepakat bahwa semua sahabat bersifat ‘âdil, sehingga semua riwayat yang berasal dari mereka dapat diterima.
Menurut Ibnu al-Shalâh, Imam al-Syâfi’iy menerima ke-hujjah-an hadis mursal yang dilakukan oleh tâbi’in besar yang terkenal tsiqah, seperti Sa’id Ibnu Musayyab dan tidak menerima hadis mursal dari golongan tâbi’in kecil seperti al-Zuhriy, Abi Hazim, Yahya bin Sa’id al-Anshariy, dan lain-lain. Penerimaan al-Syâfi’iy terhadap hadis mursal Ibnu Musayyab karena al-Syâfi’iy menemukan riwayat lain yang semakna dan berstatus musnad. Maka pada dasarnya al-Syâfi’iy juga bisa dikelompokkan pada golongan yang ketiga (menerima hadis mursal dengan syarat tertentu).
Muhammad Ajjâj al-Khatîb, op.cit, h. 337-339
DOI: http://dx.doi.org/10.29300/jpkth.v7i1.1587
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2019 EL-AFKAR : Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis
Indexing by :

_________________________________________________
El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis
Institut Agama Islam Negeri Bengkulu
Raden Fatah Street, District of Pagar Dewa, Bengkulu City, 38211
Bengkulu, Sumatra, Indonesia