RELASI FIKIH DAN TASAWUF DALAM PEMIKIRAN SYEKH NAWAWI BANTEN
Abstract
Keywords
Full Text:
PDFReferences
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII & XVIII (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. Xviii.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 181.
Karel A Stenbreenk, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 117.
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 39.
Mamat Slamet Burhanuddin, “KH. Nawawi Banten (w. 1314/1897) Akar Tradisi Keintelektualan NU”, Jurnal Miqat, Vol. XXXIV, No. 1, 2010, hal. 123
Muhammad Ulul Fahmi, Ulama Besar Indonesia: Biografi dan Karyanya, hal. 4
Ibnu Hazen (editor), 100 Ulama Dalam Lintas Sejarah Nusantra, Jakarta: Lembaga Ta’mir Masjid PBNU, Cet. I, 2015, hal. 11- 12
Hal ini didasarkan pada Hadis riwayat Imam Muslim diceritakan: “Abu Hurairah berkata bahwa pada suatu hari ketka Nabi saw berada di tengah-tengah sahabat, datanglah seorang laki-laki, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud Iman? Nabi Menjawab: “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatnya, Kitab-kitabnya, Rasul-rasulnya, hari akhir dan ketentuan baik dan buruk dari Allah. Lalu ia bertanya lagi: Apakah Islam itu? Nabi saw menjawab: hendaklah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat yang difardhukan, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Lalu ia bertanya lagi: “Apakah Ihsan itu? Nabi menjawab: “ Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia mengetahuimu... (Saḥīh Muslim, juz 1, 23).
Noor Ahmad et.al. Epistemologi Syara’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 12.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Dian Rakyat, 2008), 60.
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006), 26.
Noor Ahmad et.al. Epistemologi Syara’, 11.
Ibid., 15.
Ibid.
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rafi’ Usmani, ( Bandung: Pustaka, 2003), 91.
Ibid., 95.
Ibid., 156.
Ibid., 157.
Ibid.
Ibid., 148-149.
Syekh Nawawi Banten, Salālim al-Fuḍalā’, (Demak: Penerbit Pesantren Pilang Wetan, t. th.), 8.
Dalam kaitan ini ia mengatakan: “Urusan wajib yang pertama harus dikerjakan seorang mukallaf adalah syari’at. Barang siapa mengamalkan syari’at, akan mudah baginya , dengan pertolongan Allah Ta’ala, memasuki pintu-pintu mujahadah yang merupakan tahap tarekat. Dan barang siapa mengamalkan tarekat akan muncul darinya cahaya hakekat. (Ibid., 11-12).
Ibid.
Syekh Nawawi Banten, Syarḥ Marāqī al-‘Ubūdiyah , (Semarang: Karya Toha Putra, t.th.), 4.
DOI: http://dx.doi.org/10.29300/jpkth.v1i6.1235
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2018 EL-AFKAR : Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis
Indexing by :

_________________________________________________
El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis
Institut Agama Islam Negeri Bengkulu
Raden Fatah Street, District of Pagar Dewa, Bengkulu City, 38211
Bengkulu, Sumatra, Indonesia